Orientasi
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang hanya menitikberatkan pada
salah satu dimensi dari gejala-gejala kemiskinan ini, pada dasarnya
mencerminkan pendekatan program yang bersifat parsial, sektoral, charity dan
tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya program-program
dimaksud tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat yang pada akhirnya
tidak akan mampu mewujudkan aspek keberlanjutan (sustainability) dari
program-program penanggulangan kemiskinan tersebut.
Akar Penyebab Kemiskinan
Berbagai
program kemiskinan terdahulu dalam kenyataannya sering menghadapi kondisi yang
kurang menguntungkan, misalnya salah sasaran, terciptanya benih-benih
fragmentasi sosial, dan melemahkan nilai-nilai kapital sosial yang ada di
masyarakat (gotong royong, musyawarah, keswadayaan dll). Lemahnya nilai-nilai
kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku
masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan
kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
Kondisi
kapital sosial serta perilaku masyarakat yang melemah serta memudar tersebut
salah satunya disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola
program kemiskinan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung
tidak adil, tidak transparan dan tidak tanggung gugat (tidak pro poor dan
good governance oriented). Sehingga menimbulkan kecurigaan, stereotype
dan skeptisme di masyarakat.
Keputusan, kebijakan
dan tindakan yang tidak adil ini biasanya terjadi pada situasi tatanan
masyarakat yang belum madani, dengan salah satu indikasinya dapat dilihat dari
kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, yang tidak
berorientasi pada keadilan, tidak dikelola dengan jujur dan tidak ikhlas
berjuang bagi kepentingan masyarakat.
Kelembagaan
masyarakat yang belum berdaya pada dasarnya disebabkan oleh karakterisitik
lembaga masyarakat tersebut yang cenderung tidak mengakar, dan tidak
representatif. Di samping itu, ditengarai pula bahwa berbagai lembaga
masyarakat yang ada saat ini, dalam beberapa hal, lebih berorientasi pada
kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan
kelompok tertentu, sehingga mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada
masyarakat di wilayahnya, terutama masyarakat miskin. Dalam kondisi ini akan
semakin mendalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap berbagai lembaga
masyarakat yang ada di wilayahnya.
Kondisi
kelembagaan masyarakat yang tidak mengakar, tidak representatif dan tidak dapat
dipercaya tersebut pada umumnya tumbuh subur dalam situasi perilaku/sikap
masyarakat yang belum berdaya. Ketidakberdayaan masyarakat dalam menyikapi dan
menghadapi situasi yang ada di lingkungannya, yang pada akhirnya mendorong
sikap masa bodoh, tidak peduli, tidak percaya diri, mengandalkan bantuan pihak
luar untuk mengatasi masalahnya, tidak mandiri, serta memudarnya orientasi
moral dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, yakni terutama
keikhlasan, keadilan dan kejujuran.
Oleh karena
itu, P2KP memahami bahwa akar penyebab dari persoalan kemiskinan yang
sebenarnya adalah karena kondisi masyarakat yang belum berdaya dengan indikasi
kuat yang dicerminkan oleh perilaku/sikap/cara pandang masyarakat yang tidak dilandasi
pada nilai-nilai universal kemanusiaan (jujur, dapat dipercaya, ikhlas, dll)
dan tidak bertumpu pada prinsip-prinsip universal kemasyarakatan (transparansi,
akuntabilitas, partisipasi, demokrasi, dll).
Penanganan Akar Penyebab
Kemiskinan
Pemahaman
mengenai akar penyebab dari persoalan kemiskinan seperti di atas telah
menyadarkan berbagai pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam
penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah perubahan
perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat yang senantiasa berlandaskan pada
nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip
kemasyarakatan (good governance) dan pilar-pilar pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Perubahan
perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat ini merupakan pondasi yang kokoh
bagi terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri, melalui pemberdayaan para
pelaku-pelakunya, agar mampu bertindak sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai manusia luhur yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan
bermasyarakatnya sehari-hari.
Kemandirian
lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun lembaga masyarakat
yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan
berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu
mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan
publik di tingkat lokal agar lebih berorientasi ke masyarakat miskin (“ pro
poor”) dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (“good governance”),
baik ditinjau dari aspek ekonomi, lingkungan - termasuk perumahan dan
permukiman, maupun sosial.
P2KP Memfasilitasi
Masyarakat serta Pemerintah Daerah Untuk Mampu Menangani Akar Penyebab
Kemiskinan Secara Mandiri dan Berkelanjutan
P2KP meyakini
bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses perubahan perilaku
masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran (edukasi)
masyarakat dan penguatan kapasitas untuk mengedepankan peran pemerintah daerah
dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya.
Kedua
substansi P2KP tersebut sangat penting sebagai upaya proses transformasi P2KP
dari 'tataran Proyek' menjadi 'tataran program' oleh masyarakat
bersama pemerintah daerah setempat. Bagaimanapun harus disadari bahwa upaya dan
pendekatan penanggulangan kemiskinan tidak hanya menjadi perhatian pemerintah
pusat, melainkan justru yang terpenting harus menjadi prioritas perhatian dan
kebutuhan masyarakat bersama pemerintah daerah itu sendiri.
Substansi
P2KP sebagai proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat dilakukan dengan
terus menerus untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap
nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai landasan yang kokoh untuk
membangun masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Proses pembelajaran di tingkat
masyarakat ini berlangsung selama masa Program P2KP maupun pasca Program P2KP
oleh masyarakat sendiri dengan membangun dan melembagakan Komunitas Belajar
Kelurahan (KBK).
Sedangkan,
substansi P2KP sebagai penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam rangka
mengedepankan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah, dilakukan melalui;
pelibatan intensif Pemda pada pelaksanaan siklus kegiatan P2KP, penguatan peran
dan fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPK-D) agar mampu menyusun
Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPK-D) dan PJM Pronangkis
Kota/Kab berbasis program masyarakat (Pronangkis Kelurahan), serta melembagakan
Komunitas Belajar Perkotaan (KBP).
Semua
pendekatan yang dilakukan P2KP di atas, ditujukan untuk mendorong proses
percepatan terbangunnya landasan yang kokoh bagi terwujudnya kemandirian
penanggulangan kemiskinan dan juga melembaganya pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
Dengan
demikian, pelaksanaan P2KP sebagai “gerakan bersama membangun kemandirian
dan pembangunan berkelanjutan yang berbasis nilai-nilai universal ”
diyakini akan mampu membangun kesadaran kritis dan perubahan perilaku individu
ke arah yang lebih baik.
Perubahan
perilaku individu yang secara kumulatif menimbulkan perubahan kolektif
masyarakat inilah yang menjadi inti pendekatan TRIDAYA, yakni proses
pemberdayaan masyarakat agar terbangun :
- Daya sosial sehingga tercipta masyarakat efektif,
- Daya ekonomi sehingga tercipta masyarakat produktif, dan
- Daya pembangunan sehingga tercipta masyarakat pembangunan yang peduli lingkungan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar